Saturday, September 6, 2008

Kisah dari Salalah: (8) Al Ghaftain di tengah gurun

Setelah 3 malam menginap, kami check out dari Golden Tulip Nizwa.
Sebahagian barang kami set lagi di bagage rack, karena logistics masih belum banyak berkurang.
Di depan hotel sempat kami lihat orang lain memasang bagage rack nya di belakang mobil. Kelihatannya unik juga.
Dengan cara ini, untungnya mudah untuk mengambil barangnya, bila diperlukan di jalan. Tidak perlu manjat mobil. Tetapi ruginya, pintu belakang mobil tidak bisa di buka.
Apapun untung ruginya, kami curious: Apa saja yang orang ini bawa di bagage rack nya ? Tenda terpal kah ? Kelak di jalan ke Salalah pp kami menyaksikan berbagai cara orang membawa barang lebih nya di luar mobil.
Beberapa km di luar Nizwa jalan menyempit jadi jalan dua arah. Dan belum jauh berjalan ke arah Al Ghaftain - Salalah, saya dikejutkan seekor unta yang entah datang darimana, tiba2 sudah ada 10 meter di depan mobil. Untung kecepatan masih sekitar 100 km/jam, sehingga
sempat menginjak rem dan kecelakaan dapat dihindarkan.
Unta ternyata suka menyeberang di wilayah ini dan sayangnya tidak ada pagar penghalang unta di kiri-kanan jalan seperti di UAE. Karena tdk sempat motret, foto unta nya saya pinjam dari site Camel, Pictures and Facts. Silakan klik link-nya bagi yang minat piara unta.
Sejak kejadian itu, kami menjadi lebih berhati-hati. Warna unta yang tersamar dengan warna pasir menjadikan Saya dan Bamby harus menajam-najamkan mata. Apalagi bila kecepatan sudah di atas 120 km/jam.
Seorang kawan yg lama tinggal di Oman berpesan k.l. Bila melihat unta baru menyeberang, jangan perhatikan unta itu saja dan langsung tekan pedal gas lagi. Biasanya ada unta berikut menyusul di belakangnya.
(Kami masih ingat berita meninggalnya seorang warga Indonesia di Qatar 3 thn. yl, akibat mobilnya menabrak unta. ).
Seperti direncanakan, kami akan menuju Ghaftain dan nginap semalam di sana karena Ghaftain berada k.l. ditengah perjalanan antara Nizwa - Salalah. Kami akan melalui kota Haima yang lebih besar dan lebih dekat. GPS di set menuju Haima. Jarak Nizwa - Haima di peta 381 km. Odo meter B di set ke nol.
Kami baru tahu kemudian, bahwa Ghaftain adalah suatu 'site' 90 km lagi dari Haima, dimana pemerintah Oman membangun Rest House Al Ghaftain. Ya betul. Di tempat itu tidak ada kampung atau kota. Yang ada, ya hanya Rest House itu, Fuel Station dan beberapa bangunan pendukungnya. Sekelilingnya gurun belaka.
Pantas sulit sekali menemukan nomor telepon Rest House Al Ghaftain tsb. di internet.
Apalagi foto-foto nya. Nomor yang kami temukan itu pun sebenarnya nomor mobile phone. Hanya suara ramah Kumar di ujung telepon sana saja yang terdengar seperti mengundang. Saya harap2 cemas, seperti apakah bentuk Rest House ini. Nyamankah untuk tempat beristirahat sekeluarga ?.
Kosong nya ruang pandangan di gurun dapat dilihat pada foto-foto berikut. Mulanya masih ada gerumbul pohon di sana sini. Namun makin lama makin gundul. Sesekali ada mobil searah atau berlawanan.
Tapi ada kalanya kami seperti satu-satunya (atau tiga-tiga nya)mahluk hidup di bumi.
Pauline Searle menulis tentang bagian Oman yang gurun ini :
The silence is so deep here that ears ache from the very pressure of silence. One is alone with one's God now. This is what life is all about and there is nothing between Him and you.
This is the type of country where Islam was born, in the silent wastes, where life is hard and often cruel but simple: simple enough for man to find his God and where he can easily believe that God can find him .........
(melihat gurun selebar ini, saya berpikir betapa kontrasnya dengan Indonesia, yang dikaruniai Nya dengan tanah yang subur menghijau)
Gurun yang kami lalui ini nyambung dengan gurun sangat lebar disebelah Barat, yang saking kosongnya disebut Empty Quarter (Rub Al Khali). Sebahagian besar dari Empty Quarter berada di wilayah Saudi Arabia bahagian Selatan, sisanya di wilayah UAE, Oman dan Yaman.
Orang2 Barat pertama yg masuk menjelajah Empty Quarter adalah Bertram Thomas (1931), John Philby (1932) dan Wilfred Thesiger (1939).
Bertram Thomas memulai perjalanannya dari Muscat, Philby dari Saudi (Riyadh), Thesiger dari Salalah.
John Philby (Abdullah Philby) merupakan tokoh penuh sisi dan kisahnya sangat menarik untuk diikuti secara tersendiri : http://www.answers.com/topic/harry-st-john-philby
Mobil terus melaju dengan cepat tapi rasanya tidak sampai-sampai. Gurun melulu.
Untuk menghilangkan jemu, kami memutar CD lagu2 antara lain Bob James dan Groover Washington yang mengingatkan saya akan suasana semasa masih kuliah di Delft dulu. Untunglah isteri dan anak bisa ikut menikmati juga. Lagu 'Just the two of us' jadi terdengar seperti 'Just the three of us'.
Apakah Nabi Ibrahim a.s. juga bersenandung dalam perjalanan jauhnya bertiga bersama isteri dan anaknya (Ismail a.s) ketika mereka berjalan di gurun menuju Mekah ?
Ketika jalan mencapai bahagian yang agak rusak, kami mendengar bunyi2 an : klintring2 dari luar mobil. Pikiran saya terus ke bagage rack di atas, barangkali ada baut yg kendor.
Kami melewati sebuah bangkai mobil yang hangus. Ada juga truk container yang terkapar disamping jalan. Do'a terus meluncur dibibir. Amit-amit, semoga perjalanan kami selamat.
Ada tugu berbentuk 'kambing' disisi jalan. Rupanya tanda jalan masuk ke Oryx sanctuary. Itu adalah tempat perlindungan dan pembiakan binatang Arabian Oryx yang tadinya hampir punah (sila baca: http://www.eoearth.org/article/Arabian_Oryx_Sanctuary,_Oman)
Akhirnya kami tiba di Al Ghaftain Rest House. Kumar menyambut dengan ceria dan kami beruntung dapat kamar no 5 yang paling lux (diantara yang ada).
Cerita punya cerita, rupanya kamar itu biasanya khusus dipakai oleh seorang Sheikh dari Dubai, yg kebetulan tidak membooking nya saat kami datang. Ini rupanya yang pengertian lain dari istilah hidup pas pas an.
Pas perlu , pas ada. Sewa kamar 35 OMR per malam.
Bayar saat check in (tdk perlu transfer uang atau ngecup pake kredit card). Alhamdulillah Kumar memenuhi janjinya dan kamarnya betul betul tersedia untuk kami (meskipun kami bawa tenda untuk jaga-jaga).
Kamar yg ini ada ruang tidur terpisah, ruang tamu dan ada sofa empuk nya. Esther happy dapat tempat 'beroperasi' yang luas. Bamby happy dapat tempat tidur sendiri. Papanya happy, tidak perlu jaga2 ditempat tidur menghadapi 'persekongkolan' mereka. AC nya dingin .....
Kamar mandi bersih , airnya lancar dan panas (meskipun keran biru yang dibuka). Jadi kami harus hati-hati kalau cebok (bisa ada "perangkat" yang jadi mateng). Ini karena suhu diluar mencapai 50 Celsius.
Yang juga menyenangkan, Rest House yang dikelola swasta ini aman tempat parkirnya. Bagage rack tidak usah dibongkar, karena mobil bisa diawasi dari kamar dan pak polisi patroli terus 24 jam.
Yang enak juga, disitu ada restorannya (bisa minta antar ke kamar).
Makanan India nya cocok dengan lidah kami yang datang dari negeri yang dulu bernama Hindia Belanda. Apalagi untuk Bamby yang sudah setahun sekamar dengan temannya yang India Muslim.
Malam nya kami menyaksikan bahwa tempat parkir penuh dengan kendaraan yang menuju atau kembali dari Salalah. Banyak yang membawa bagage rack, bahkan kereta gandengan utk membawa barang extra.
Suasana menjadi ramai di malam hari. Karena satu keluarga sering kali terdiri dari Bapak Arab satu, isteri lebih dari satu, anak lebih dari satu dan pembantu paling sedikit satu.
Anak-anak ditemani pembantu terlihat main di ayunan di halaman. Temperatur luar sudah turun ketika hari menjadi gelap.
Kami cukup santai nonton beberapa acara TV yang menarik a.l. the Amazing Race Family (satu episode sebelum final). Cukup seru, dan kami berharap bisa nonton final nya di Ghaftain lagi, pas seminggu kemudian.
Esoknya, kami melahap nasi briyani dengan 'fried dhal' sampai licin tandas saat sarapan pagi. Sebelum berangkat, saya check baut2 bagage rack tapi tidak ketemu yang longgar.
Jadi apa yang bunyi2 itu ? Nanti di Salalah akan saya periksa lagi.
(to be continued)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home