Monday, February 9, 2009

Kisah dari Salalah (22) : Kembali via Muscat

Pagi Tgl. 8 Agustus 2008, kami check out dari Haffa House Hotel Salalah setelah menginap 6 malam. Satu demi satu barang keperluan, kami pak ke dalam ransel dan hand bags. Esther lah yang paling paham, yang mana musti masuk kemana.

Saya dan Bamby memasukkan dan mengaturnya di mobil. Supaya nantinya mudah diturunkan atau dicari bila barang tertentu diperlukan. Maklum nanti masih akan menginap semalam di Ghaftain dan dua malam di Seeb/Muscat sebelum saya dan Esther balik ke Abu Dhabi. Bamby akan terbang langsung dari Muscat ke Doha, karena visa masuknya ke UAE cuma berlaku sekali.

Saat berangkat, suasana hari-hari terakhir di Salalah yang menyenangkan masih terbawa. Foto-fotonya bisa dilihat di bagian photo, dengan judul: Shisr dan Pantai Mughsail (lagi).

Kami mampir dulu membeli buah-buahan sebelum keluar kota Salalah.

Tidak berapa lama selepas Ghaftain, datanglah Badai Pasir yang cukup mendebarkan. Hujan lebat pun mengguyur mobil kami sebelum masuk Muscat.

Dibanding 2005, Muscat tampak lebih ramai dan lebih berkembang. Ada Mal baru dan jalan-jalan tampak lebih padat. dengan kendaran.

Dari suatu vantage point di atas bukit, kami bisa melihat Ruwi Valley. Sayang cuaca agak berdebu (hazy) sehingga Old Muscat / Mutrah harbour dengan Mirani Fort dan Jalali Fort nya tidak tampak di kejauhan. Kami sempat berkunjung dan melihat kedua Fort tsb. dari kedekatan ketika jalan-jalan ke Muscat thn 2005.

Dari vantage point itu kami mengambil jalan tembus ke pantai-pantai Yiti, Al Jissah dan Qantab menikmati hari terakhir kisah perjalanan panjang ke Salalah.


Tgl. 11 Agustus, kami mengantar Bamby ke Seeb Airport dan langsung kembali berduaan saja ke Abu Dhabi.

SELESAI ................

Monday, December 15, 2008

Kisah dari Salalah: (21) Jalan 23 Juli dan catatan2 kecil

Ditengah kota Salalah ada jalan yg dinamai 23 July Street (Jalan 23 Juli). Meskipun jalannya kecil, arti tanggal ini ternyata penting.

Dipagi buta tgl. 23 Juli 1970, Sultan Said bin Taimur yang berkuasa dikunjungi oleh kerabat nya dan (seorang) perwira Inggeris. Pengunjung ini meminta Sultan untuk melepaskan tahta nya dan pergi meninggalkan Al Hisn Palace - Salalah. Menyadari bahwa suatu kudeta sedang berlangsung, Sultan mencabut pistol nya dan mencoba melawan. Perlawanannya gagal, Sultan melukai dirinya sendiri dengan pistolnya, dan akhirnya harus melepaskan tahtanya.

Puteranya, menggantikan kedudukannya sebagai penguasa the Sultanate of Oman dengan gelar Sultan Qaboos.

Sultan yang lama dianggap terlalu konservatif, dan yang baru dianggap cukup progresif serta lebih mudah bekerjasama dengan Inggeris.

Bagi yg tertarik mengetahui 'apa kata orang Barat' ttg perubahan yg terjadi, a.l. bisa menjaringnya dari link DISINI atau DISITU. Sedangkan deklarasi pertama Sultan Qaboos segera setelah pergantian kekuasaan bisa dibaca DISINI.

Saya melihat adanya kemiripan antara kisah pergantian penguasa di atas dengan pergantian penguasa di Qatar thn 1972 atau Emirate of Abu Dhabi thn 1966. Mungkin kebetulan. Dan mungkin memang 'James Bond' tidak cuma aktif di film-film. Wallahu'alam.

Yang kita amati adalah setelah pergantian penguasa di tahun 1970 itu, Oman berkembang lebih pesat hingga menjadi seperti sekarang ini.

-----------
Sekembali dari mata air Ain Razat, kami memasuki kota Salalah dari arah Timur dan langsung menuju tempat pencucian mobil yg manual. Memang kami lihat ada tempat cuci mobil automatik di dekat Haffa House (tempat kami menginap), tetapi sedang rusak.
Sambil menunggu giliran mobil dicuci, saya sempat ngobrol-ngobrol dengan pemuda Oman yg juga mencucikan mobilnya disitu. Pemuda itu, sebut saja namanya M, cukup fasih berbahasa Inggeris. Rupanya ia lulusan akademi perhotelan, asal kota Ibri tetapi bekerja di dinas pariwisata Muscat.

Darinya saya mendapat kesan bahwa ia bangga akan kemajuan / modernisasi yang dicapai Oman sekarang. Saat itu ia mengenakan baju kandura hijau tua dan memakai topi / cap baseball warna putih. Yang tradisionil dan yang modern dikenakan ditubuhnya dengan nyaman. (Saya sungkan mengambil foto nya).

Dari M saya baru tahu mengapa banyak tenda biru di tanah lapang sedikit di utara kota Salalah, dimana mobil-mobil diparkir di dekatnya. Rupanya banyak orang Salalah memanfaatkan Khareef season / musim turis, dengan jalan menyewakan rumahnya kepada turis. Sedang pemilik rumah camping saja dengan tenda biru di utara kota. What an idea ..........

M juga memberikan nr. hp nya. Just in case saya memerlukan untuk menyewa rumah yang disewa ayahnya bersama keluarga besarnya di Salalah.

Ayahnya senang menyewa rumah diwilayah Dahariz (Salalah Timur Laut). Supaya dekat dengan Shir, tempat yg rimbun dan sejuk utk piknik.

----------
Tetapi saya amati ada juga nilai tradisionil yg terus dijaga orang Salalah. Seperti yang saya lihat pada seorang yang agak tua, yang selalu duduk di dekat lift Haffa House Hotel yang kami tinggali. Ia sering memandang kami (yang mondar-mandir ke / dari lift) dengan tajam. Ia berpakaian kandura putih, bersorban Omani dan tangannya terus menghitung biji tasbih nya.

Ketika saya tanyakan kepada receptionist ttg siapakah sosok itu. Jawabnya adalah: PETUGAS SECURITY. Wah, rupanya petugas security di hotel tidak berseragam security dan hanyalah bersenjatakan tasbih !! Mungkin ilmunya tinggi ..... (saya juga tidak berani mengambil fotonya)

-------
Rahasia suara aneh di luar mobil yg terdengar selama perjalanan dari Nizwa ke Salalah akhirnya terpecahkan. Dengan bantuan montir Pakistan di bengkel tambal ban dan komunikasi via bahasa 'tarzan gurun' ditemukanlah bahwa besi penutup / cap ujung poros roda kiri depan lepas. Ia tidak terlihat karena tertutup oleh penutup luar. Jadi cuma terdengar bunyi kelitrik2nya saja.

Setelah cap tsb. dipasang kembali, bunyi-bunyian yg mengilik rasa penasaran itu hilang sudah.

---------
Untuk menghemat pengeluaran ada saja ide. Antara lain dengan tidak mencucikan pakaian kotor di hotel. Kami mencucikannya di laundry k.l. 500 meter dari Hotel. Kalau kami sebarkan ide kami ke semua tamu hotel, mungkin Haffa House akan berkurang profitnya .....

----------
Membayar bill hotel, tentu lebih ekonomis bila membayarnya dengan Omani riyal. Karena itu kami menukarkan uang Dirham UAE ke Omani riyal di Oman UAE Exchange k.l. 1 km dari Haffa House. Saya kurang beruntung: antrian nya di cashier panjang juga ......

-------
Tidak terasa, besok adalah hari ke enam kami menginap di kota Salalah. Rencananya besok akan ke Shir (tempat piknik rimbun yg ditunjukkan tempatnya oleh M - di tempat cuci mobil) dan sekali lagi lesehan di pantai Mughsail.

(Bersambung)

Thursday, December 11, 2008

Kisah dari Salalah: (20) Sinkhole (Tawi Attayr) dan mata air (Ain Razat)

Dihari ke 5 kunjungan ke wilayah Salalah ini, giliran Bamby untuk memilih tujuan dan memandu ke tujuan tsb. Maksudnya adalah untuk latihan.

Bamby jadi lebih aktif membolak balik buku-buku panduan yang kami bawa, yaitu: Oman Off Road (Explorer) dan Off Road in the Sultanate of Oman (Motivate Publishing) berikut map-map yg ada.

Akhirnya ia usul agar pagi itu kami mengunjungi sebuah sinkhole di Tawi Attayr dan kemudian dilanjutkan ke mata air di Ain Razat.

Singkat cerita kami mencapai sinkhole di Tawi Attayr (k.l. 20 km sebelah Timur Salalah) yg dalam buku Oman Off-road disebutkan berdiameter 150 meter dan berkedalaman 211 meter.

Ada rasa ngeri untuk berada dekat-dekat dengan tepi lubang yang dalam itu. Jadi kami tidak berusaha untuk mengikuti jalan setapak yang turun ke kedalaman 80 meter dari dasar lubang.

Penduduk setempat menyebut sink hole ini dengan kata-kata yg berarti well of the birds, karena banyak burung bersarang di dalamnya.

Entah bagaimana lubang dalam ini bisa terbentuk secara geologi. Dan apa saja yang bisa ditemukan didasarnya bila eksplorasi dilakukan.

Note: Saat tulisan ini dibuat, skeleton seekor apatosurus (d/h brontosaurus) yang dinamai Einstein sedang dipamerkan di Arrival Hall Abu Dhabi International Airport. Skeleton Einstein ditemukan di dalam sebuah sinkhole di Dakota - USA dalam keadan 85% lengkap. Rupanya apatosurus muda itu terjerumus ke dalam sinkhole tsb. k.l. 140 juta tahun yl.

Saat kami berkunjung, tempat parkir dan pavementnya sedang di upgrade. Tentu nantinya bakal lebih nyaman dikunjungi.

Sebenarnya ada satu obyek menarik lainnya di Tawi Attayr, yaitu anti gravity spot. Konon banyak orang yang mengalami mobilnya menggelinding naik meskipun gear (versnelling) di posisi netral. Kecepatannya bisa mencapai 40 km / jam.

Tetapi obyek tsb. terlewatkan. Mudah2an next time bisa kami coba juga fenomena tsb. Penasaran sih.

Perjalanan kami teruskan ke Barat ke mata air Ain Razat. Tetapi karena salah belok, jadi menyusuri pebukitan yang hijau disebelah utara Wadi Darbat.

Tampak beberapa ekor sapi merumput ditepi jalan. Mungkin mereka ini adalah keturunan sapi yang didatangkan dari Kenya setelah suasana menjadi damai (pasca pemberontakan) di Dhofar mountains thn 1970 an. Sapi-sapi ini tidak sebesar sapi Australia dll. yang ketika dulu dicoba didatangkan ternyata tidak cocok (terlalu banyak memerlukan pakan - yg juga perlu diimpor).

Ain Razat terletak sedikit di sebelah Timur Salalah. Rupanya site itu merupakan tempat rekreasi yang favorit juga bagi penduduk Oman.

Kolam airnya cukup jernih dan tempatnya terkesan resik. Sayang ada papan peringatan dilarang berenang, karena bahaya cacing bilhariazis.

Setelah lesehan makan siang di Ain Razat, kami kembali ke Salalah: Mobilnya perlu dicuci ...

(Bersambung)

Thursday, December 4, 2008

Kisah dari Salalah: (19) Sadh di teluk kecil

Tujuan kami mengunjungi Sadh (atau Sadah) adalah sekedar penasaran apakah betul di kota tsb. bisa diperoleh abalone (sea food). Mungkin bisa kami nikmati sekalian untuk makan siang.

Menurut sebuah website pariwisata:

.........
Sadh come alive during the abalone season. Abalone, referred to as sufailah locally is often called as the “food of the gods” and the steak of the sea. It is fished locally during the limited season when it is permitted and dried and exported to countries in the Far East. Over fishing of the abalone has resulted in a major depletion of stocks and efforts are on to replenish the stocks by limiting the season.

Abalone divers are given licences for the conduct of diving by the Ministry of Fisheries and Agriculture. There are no special tools or equipment that is required and the best divers are clearly those who can hold their breath while the abalone is prised out from the rock. The divers have no special training but the one rule that they must all adhere to is to ensure that the rocks are left intact while harvesting the abalone. Overturning or shifting the rock disturbs the developing abalone, uproots the algae and pulls the curtain down on both the species and the business.

(Bagi yg belum tahu, bentuk abalone yg akan dimasak bisa dilihat di link INI).

Ternyata perjalanan ke Sadh terasa menjadi lama. Mungkin karena pemandangan tidak bervariasi dan perut sudah lapar.

Akhirnya kami mencapai Sadh, yg terletak di sebuah teluk (cove). Kotanya terlihat lebih resik dan hidup ketimbang Mirbat, meskipun tidak sebesar Mirbat.

Kami menemukan sebuah bangunan tempat beristirahat ditepi teluk dan mekan siang disitu. Setelah perut kenyang, kami bisa menikmati kedamaian suasana di teluk itu untuk beberapa lama.
Sesekali kami lihat boat yang datang dari laut, berlabuh dan berangkat lagi.

Setelah cukup beristirahat, kami berkeliling dan bertanya kepada beberapa penjaga toko, dimanakah kiranya kami dapat memperoleh abalone. Mungkin karena keterbatasan komunikasi, kami tidak memperoleh jawaban yg jelas. Kami baru tahu kemudian, bahwa abalone dalam bahasa setempat disebut sufailah.

Dari Sadh kami langsung kembali menuju Salalah, karena hari sudah sore. Mudah2an dalam kunjungan lain kali, kami bisa menemukan abalone dan mengunjungi makam di Hasik, yang dipercaya sebagai makam Nabi Saleh a.s.

Untuk acara keesokan harinya (hari ke 5 di Salalah) saya serahkan kepada Bamby utk memilih tujuan dan memandu perjalanan mencapai tujuan tsb.

(bersambung)

Friday, November 21, 2008

Kisah dari Salalah: (18) Mirbat, makam Muhammad bin Ali dan Wali Sanga

Dari Travertine Curtain kami lanjutkan perjalanan ke Timur menuju kota Mirbat. Jalan raya menyusuri pantai yg ditempuh adalah sekitar 40 km.


Saya masih sempat memandang Sumhuram (Khor Rori ancient site) di arah pantai ketika kami melewati jalan masuknya lagi. Dan membayangkan betapa besar dedikasi arkeolog dan dana yang diperlukan untuk memugar / melestarikan peninggalan-peninggalan kuno. Ini seperti ditunjukkan pada explorasi Tomb No. 33 di Mesir dan penyelamatan peninggalan kuno di Irak saat perang teluk II dimulai. Apapun motifnya, pemegang 'bukti sejarah' memang bisa menyusun kisah yang meyakinkan untuk generasi berikut.

Pada sebuah lembah tidak jauh sebelum kota Mirbat, disebelah kanan jalan raya, terlihat bangunan berwarna putih dengan dua kubah di atasnya. Bangunan itu adalah makam seorang syekh (wali) bernama Muhammad bin Ali.


Menurut sebuah website pariwisata:
"Muhammad bin Ali, who is described as a taqi or pious man, established a madrassa in Mirbat and died in the year 1161. The place is well maintained and has many original features some of them dating back to 12th century".

Kami mengunjungi makam tsb. dan melihat bahwa disekitar bangunan nya terdapat banyak sekali makam. Ini menunjukkan bahwa komplek makam ini memang sudah cukup tua.

Saya berpikir, apakah Muhammad bin Ali ini ada hubungannya dengan Wali Sanga di pulau Jawa ? Dan rasa-rasanya saya pernah membaca sebuah silsilah para penyiar agama Islam yang mengandung nama Mirbat. Kalau tidak salah namanya Shohib Marbat atau Shohib Mirbat.

Sekembali ke Abu Dhabi saya coba cari di internet dan menemukan informasi dari website ahlussunnahwaljama'ah Indonesia sbb:

quote:

Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali’ Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-’Uraidhi - Ja’far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW

Beliau adalah Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW.

Beliau terkenal dengan julukan Shohib Mirbath, yang artinya penghuni daerah Mirbath. Mirbath adalah julukan bagi kota Dhafar lama, suatu daerah berpantai.

Beliau adalah seorang imam yang agung, unggulan di jamannya. Beliau banyak menguasai berbagai macam ilmu dan gemar mengamalkannya. Beliau seorang yang hidup dalam keadaan zuhud dan wara’. Hidupnya penuh dengan ibadah dan berbuat kebajikan. Seseorang yang melihat kehidupan beliau, pasti terkagum akan keindahan akhlak dan kemuliaan sifat-sifatnya.

Selain itu beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah. Kedalamannya di dalam menguasai ilmu menjadikan beliau sebagai seorang guru yang agung. Dengan kemuliaan dan kebaikan kehidupannya, muncullah di dalam diri beliau berbagai macam karomah.

Beliau aslinya berasal dari Hadramaut, kemudian memutuskan tinggal di Mirbath. Banyak para ulama yang berhasil dalam didikan beliau dan akhirnya menjadi ulama-ulama besar. Diantaranya adalah 4 putra beliau sendiri, yaitu Alwi, Abdullah, Ahmad dan Ali (ayah dari Ah-Fagih Al-Muqaddam). Selain itu ada juga beberapa ulama lainnya seperti Asy-Syeikh Muhammad bin Ali (yang disemayamkan di kota Sihr), Asy-Syeikh Al-Imam Ali bin Abdullah Adh-Dhafariyyin, Asy-Syeikh Salim bin Fadhl, Asy-Syeikh Ali bin Ahmad Bamarwan, Al-Qadhi Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib.

unquote:

Kutipan diatas menunjukkan bahwa Shohib Marbat bernama Muhammad bin Ali Khali' Qasam.

Dari website lain juga diketahui bahwa Shohib Marbat wafat pada thn. 556 H. Kalau saya hitung hitung bahwa tarikh Hijri dimulai saat Rasulullah SAW hijrah dari Mekah ke Madinah (thn. 622 M) dan ada 354 hari dalam satu tahun Hijri, maka thn. 556 H bertepatan dengan 622 + 556 (354/365) = 622 + 539 = 1161 M. Sama dengan tahun yg disebut oleh web site parawisata di atas !

Jadi makam yg kami kunjungi itu kemungkinan besar adalah makam Shohib Mirbat, keturunan ke 16 dari Rasulullah Muhammad SAW melalui puteri beliau (Fatimah As Zahra).

Selanjutnya, dalam tulisan mengenai dakwah kaum Alawiyin dalam blog seorang warga Sabah Malaysia , yg menyarikannya dari Syarh Al-Ainiyyah karya Al-Allamah AlHabib Ahmad bin Zain Alhabsy Ba'alawy,
disebutkan sbb:

quote:

Disetiap negri yang di kunjungi, mereka langsung membaur dengan rakyat setempat dan menggunakan nama-nama dan gelar-gelar yang dipakai secara umum. Dengan kelurhuran ahlak dan kehidupan bersahaja serta ketaatan kepada Agama seperti yang di warisi dari para leluhur, mereka mereka berhasil memikat hati penduduk setempat sehingga dalam waktu yang relatif singkat, Islam telah menyebar dan meluas di berbagi daerah di AsiaTenggara termasuk kepulauan Indonesia.

Di antara mereka yang sangat terkenal ialah keturunan Abdul Malik bin Muhammad (Shohib Mirbath) bin Ali (Kholi’ Qosam) bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir. Sayid Abdul Malik tersebut pergi dari Hadrolmaut dan menetap di India dan Anak cucunya membaur dengan penduduk negri dan menggunakan nama-nama dan gelar-gelar India. Dalam buku nasab kaum Alawiyin, mereka di sebut sebagai keluarga Adzamat Khan. Diantara mereka pergi ke Asia Tenggara yang diantara anak cucunya kemudian di kenal di Indonasia sebagai Wali Songo. Jamaluddin Husain al-Akbar adalah orang pertama dari keluarga Adzamat Khan yang datang dan menetap di Indonesia. Ia adalah putra Ahmad jalal Syah (lahir dan wafat di India) bin Abdullah khan bin Abdul-Malik (wafat di India) bin Alwi (wafat di Tarim Hadromaut) bin Muhammad (Shahib Marbath) dan seterusnya sampai Imam al-Muhajir.

Jamaluddin datang ke Indonesia dengan membawa keluarga dan sanak kerabatnya, lalu meninggalkan salah seorang putranya bernama Ibrahim Zain al-Akbar di Aceh untuk mengajarkan tentang Islam, sedangkan ia sendiri mengunjungi kerajaan Majapahit di Jawa kemudian merantau lagi ke daerah Bugis (Makassar dan Ujung pandang) dan berhasil dalam penyiaran Islam dengan damai sampai ia wafat di daerah Wajo, Makassar. Ia meninggalkan tiga orang putra, yaitu Ibrahim Zainuddin al-Akbar (yang ditinggal oleh ayahnya di Aceh), Ali Nurul Alam dan Zainal Alam Barakat.

Ibrahim Zainuddin al-Akbar (alias Ibrahim Asmoro) wafat di Tuban Jawa Timur dan meninggalkan tiga orang putra yakni: Ali Murtadha, Maulana Ishaq, (ayah dari Muhammad Ainul Yakin /Sunan Giri) dan Ahmad Rahmatulloh Sunan Ampel (ayah dari Ibrohim Sunan Bonang, Hasyim Sunan Drajat, Ahmad Husanuddin Sunan Lamingan, Zainal Abidin Sunan Demak, Ja’far Shodiq Sunan Kudus).

Ali Nurul Alam putra dari Jamaluddin Husein Al Akbar, wafat di Anam (Siam) meninggalkan seorang putra yaitu Abdulloh Khan yang wafat di Kmphuchea. Dua orang putra Abdulloh beliau adalah Babulloh Sultan Ternate dan Syarif Hidayatulloh Sunan Gunung Jati (ayah dari Sultan Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama).
Zainal Alam Barokat, putra ketiga dari Jamaluddin Husen Al Akbar, wafat di Kampuchea atau di Cermin, meninggalkan dua orang putra yaitu Ahmad Zainal Alam dan Maulana Malik Ibrohim (wafat di Gresik)

unquote

Jadi sebahagian dari Wali Sanga (kemungkinan besar) adalah keturunan dari wali (syekh) yang makamnya kami kunjungi di Mirbat ! Mudah-mudahan di waktu kemudian ada keterangan-keterangan lain yang dapat memperjelas hasil riset kecil-kecilan ini.

---------------------

Mumpung mencatat silsilah-silsilah, berikut ini saya tambahkan silsilah keluarga sendiri berdasarkan catatan yang saya peroleh dari keluarga ibunda. Sekedar menyimpannya sebelum hilang.

Ibunda (Ny. Loekito Santoso - Bandung), adalah putri dari
Raden Ngabei Soenodo (dr. hewan - makam di Bandung), putra dari
Raden Ngabei Soerodiwirjo (Pati), putra dari
Raden Ngabei Soerowidjojo (makam di Sani - Pati), putra dari
Raden Ngabei Soerodiwirjo I (Pati), putra dari
Raden Ngabei Ronggo Djojokoesoemo I (Boepati Anom, makam di Randangan - Pati), putra dari
Kandjeng Pangeran Notoprodjo (Boepati Anom Pati, makam di Randangan - Pati), putra dari
Kandjeng Panembahan Sadakepoeh (Sedo Kepoeh, makam di Bergota - Semarang), putra dari
Kandjeng Panembahan Patih Semarang, putera dari
Kandjeng Panembahan Semarang (makam di Tembayat - Klaten), putra dari
Kandjeng Panembahan Adik Dagi / Soemanhadi (makam di dlm gedung Kadilangu Demak), putra dari
Raden Mas Said Kandjeng
Soenan Kalidjogo (makam di Astono Kadilangu - Demak), putra dari
Raden Toemenggoeng Harjo Wilotikto (Hadipati Toeban - menantu ISKS Browidjojo III / Lemboe Amisani - Modjopahit), putra dari
Raden Toemenggoeng Harjo Tedjo (Hadipati Toeban)

Catatan:
1) Bila annals Kelenteng Sam Po Kong - Semarang yg dikutip Parlindungan dalam buku Tuanku Rao (Lampiran XXX / hal. 654) benar, maka Raden Toemenggoeng Harjo Tedjo adalah seorang Cina muslim bernama Haji Gan Eng Tju. Pada thn. 1423 M, Haji Gan Eng Tju dipindahkan tugasnya sebagai pemimpin komunitas Cina Islam dari Manila ke Tuban oleh Haji Bong Tak Keng, yang ditempatkan di Campa untuk mengatasi flourishing Muslim/Hanafi Chinese communities di Nan Yang (Asia Tenggara) oleh Laksamana Haji Cheng Ho (Zheng He). Karena jasa-jasanya melayani keraton Madjapahit di pelabuhan Tuban, Haji Gan Eng Tju diberi gelar A Lu Ya (Aria ?) oleh Raja Majapahit.

2) Bila Babad Tuban yang dikutip De Graaf & Pigeaud dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (hal. 166) benar, maka Aria Teja (Harjo Tedjo) adalah seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan raja Tuban (Aria Dikara) untuk memeluk agama Islam.

3) Baik annals Klenteng Sam Po Kong yang dikutip Parlindungan (di hal. 655) maupun Sadjarah Dalem (Padmosusastro) yang dikutip De Graaf & Pigeaud (catatan kaki di hal. 166) menyebutkan bahwa Nyai Gede Manila atau Nyi Ageng Manila, puteri Aria Teja (lahir di Manila?) dinikahkan dengan Raden Rahmat (Sunan Ngampel). Dari pernikahan ini lahirlah Raden Maulana Makdum Ibrahim, yg kelak dikenal sebagai Sunan Bonang.

4) Nama Raden Rahmat (Sunan Ngampel) juga disebut dalam tulisan John Lawton di Saudi Aramco World mengenai kisah penyebaran Islam ke Asia Tenggara dan Cina yang cukup menarik.

Mudah-mudahan silsilah dan cacatan di atas, juga memberi manfaat bagi pembaca.

-----------

Dari makam Muhammad bin Ali kami masuk ke kota Mirbat, yang saat itu tampak seperti kota mati. Disana sini kami lihat reruntuk bangunan.


Kami mencoba mencari lokasi Golden Tulip Resort dan bekas benteng di Mirbat, tetapi tidak berhasil. Yang kami jumpai hanya pelabuhan nelayan dimana beberapa boat kecil sedang berlabuh.


Setelah kembali di Abu Dhabi saya menemukan kisah pertempuran seru di Mirbat antara 9 orang anggota pasukan SAS Inggeris (yang diperbantukan kepada Sultan Qaboos) dengan 250 orang pemberontak / simpatisan komunis, yang terjadi pada thn 1972.

Dari Mirbat kami masih meneruskan perjalanan ke Timur, menuju kota Sadh.

(bersambung)